Suara Hati

terpuruk ku dalam lamunan,,di saat kau tak lagi bersamaku...
aku benar-benar ingin merasakan indahnya pagi,,
tanpa ada yang temani ku untuk mengatakan terimakasih TUHAN
untuk keindahan ini,,,


sinar mentari pun terlalu indah untuk ku tinggalkan....
seberkas cahaya perlahan,,menyinari wajahku..
dan kusadari bahwa masa lalu adalah masa lalu
kita tak harus bergantung padanya...

kau yang ajarkan aku bahagia,,,

kau pula yang ajarkan aku derita,,,

sekarang aku telah sadar bahwa aku sendiri...
tanpa kau yang slalu ada di sam
pingku
tanpa kau yang selalu membuat aku bahagia

tapi aku yakin,,bahwa aku masih bisah bertahan
tanpa cintamu...


Toyu Toru


hasil rapat IKMAPPOS pada tanggal 26 juni 2009. Menatapkan Ketua, Sekretaris dan Bendahara Makrab IKMAPPOS 2009.

Ketua : ALFRED SABINTOE
Sekretaris : ABDI POLE
Bendahara : EVA SIOMBO

koordinator masing-masing seksi menyusul setelah dilaksanakan rapat Panitia Makrab minggu depan.

Rapat IKMAPPOS 24 juni 2009

Keputusan Rapat 24 Juni 2009:

1. Pemilihan Ketua Makrab 2009
- Nama-nama calon:
- Abdi Pole
- Aphet Sabintoe
- Merry Tadale
- Eva Siombo

- Cara memilih:
nanti para anggota IKMAPPOS akan mendapatkan daftar nama calon yang akan dibagikan oleh Korwil di masing-masing wilayah di mulai besok (kamis 25 juni) sampai dengan hari jumat (26 juni).

2. HPI (Hari Pekabarn Injil)
akan diperingati oleh semua Anggota Ikmappos dengan mengadakan Fun Game. selaku tuan rumah adalah wilayah kemiri dengan Koordinator Rits Kogege. diharapkan partisipasi dari seluruh anggota IKMAPPOS.

3. CELEBES
dalam proses

4. LDKM
dalam proses

5. kepengurusan

-
evaluasi kegiatan Expo Budaya 2009
- iuran perbulan bagi anggota dan keluarga IKMAPPOS:

Mahasiswa: Rp.1000,-
Keluarga: Rp.5000,-

-
pelunasan baju IKMAPPOS terakhir minggu depan.



Menelusuri Nenek Moyang Penduduk Poso



KEBIASAAN mengubur jenazah di dalam gua bukan hanya dilakukan penduduk Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Gua Latea, sekitar 57 kilometer arah Selatan Kota Poso, atau 258 kilometer dari Kota Palu, ibukota Provinsi Sulawesi Tengah merupakan kuburan purba suku Pamona, penduduk asli Poso.

Nenek moyang orang Pamona itu, dulunya hidup di bukit-bukit, khususnya yang hidup di perbukitan Wawolembo. Sistem penguburan dengan menaruh jenazah di gua-gua itu, baru berakhir sekitar abad ke-19 Masehi. Gua ini pernah mengalami keruntuhan batuan sekitar lebih 2000 tahun silam. Gua Latea terdiri dari dua tingkat yaitu, di bawah, terdapat empat pasang peti jenazah dan 36 buah tengkorak manusia. Sedangkan, di atas, terdapat 17 pasang peti jenazah, 47 buah tengkorak dan lima buah gelang tangan. Kedua bagian ini pernah dipugar tahun 1994.

Cara penguburan zaman dulu masyarakat Pamona ini, sama seperti yang dilakukan di Tanah Toraja,Sulawesi Selatan. Memang, menurut Yustinus Hoke (60), budayawan Pamona, berdasarkan historisnya, orang Pamona dan orang Toraja masih memiliki hubungan kekerabatan yang sangat erat. Karena masih ada hubungan kekerabatan itulah, sehingga beberapa tradisi nyaris sama, termasuk salah satunya adalah cara penguburan jenazah dengan menaruhnya di gua-gua. Tidak hanya di Gua Latea. Kuburan nenek moyang orang Pamona lainnya terdapat di Gua Pamona yang letaknya persis di tepi Danau Poso. Gua ini memiliki 12 ruang. Menurut Yustinus Hoke, orang Pamona dikuburkan di Gua Pamona ini berdasarkan kelas sosial masing-masing. Hanya saja tidak dijelaskan, di ruangan ke berapa menjadi kuburan bagi kalangan bangsawan dan di mana letak kuburan rakyat biasa.

Meski sebagai kuburan nenek moyang orang Pamona, tapi Gua Pamona ini tidak hanya menjadi tempat wisata yang indah untuk dikunjungi, tapi juga menjadi tempat bermain anak-anak setempat. Gua Latea dan Gua Pamona, adalah dua cagar budaya di Kabupaten Poso. Kedua gua ini terakhir kali ramai dikunjungi pada 1997 lalu, ketika dilaksanakannya Festival Danau Poso (FDP) yang kesembilan.

Setelah meletusnya konflik Poso tahun 1998, praktis Gua Latea dan Gua Pamona ini tak lagi dikunjungi wisatawan maupun peneliti. "Iya, memang sejak kerusuhan, dua gua ini sudah sangat jarang dikunjungi," kata Pendeta Hengky Bawias. Dan lebih menyedihkan lagi, pada FDP yang ke-10 tahun 2007 ini, pihak panitia tidak memasukan Gua Latea dan Gua Pamona sebagai tempat untuk dikunjungi. Padahal, menurut Pendeta Hengky Bawias, pada FDP ke-9 tahun 1997 lalu, Gua Latea merupakan salah satu tempat yang ramai dikunjungi oleh tamu lokal, tamu dari luar Poso maupun tamu mancanegara yang hadir pada FDP. (Ruslan Sangaji).

sumber: http://posobersatu.blogspot.com

Pengurus IKMAPPOS 2009

PENGURUS IKMAPPOS
Periode 2009-2010

PENASEHAT
Orang Tua
Om Tony Tampake
K'Wati daewangga

Mahasiswa
Yosua Entoh
Andry Warso
____________________________________
KETUA
Yondy Lono

SEKRETARIS
Ade Pole

BENDAHARA
Novi Taungke
____________________________________

Sie. Rohani
Onie Bangguna
Lidya Lono
Kartika Kalembiro

Sie. Usaha dana
Mery Tadale
Eva Meguumi
Trisna Bamonturu

Sie. Olahraga
Abdi Pole
Isky Kaluti
Aan Sigilipu

Sie. Humas
Harold Nyaua
Utha Tadale

Sie. Seni dan Budaya
Icha Legarano
Yolanda Pangko

Koordinator Wilayah
Felix Guampe (Kemiri I/II)
Ritz Kogege (Kemiri III)
Yanto Bando (Turen-Cemara)



syallom,,
teman-teman sekalian kami dari IKMAPPOS mengucapkan terimakasih kepada teman-teman yang sudah mau memberikan tanggapan dan berpartisipasi dalam blogg ini.

kami dari IKMAPPOS membuat positngan baru sebagai wadah atau tempat buat teman memberikan tanggapan, saran dan kritik yang membangun buat blogg ini. atau ada dari teman-teman yang mengusulkan dibuatnya tempat teman-teman berkreatifitas dalam blog ini. misalnya ada dari teman-teman yang pandai berpuisi, cerpen, menulis artikel, curhat apapun...

buat teman-teman yang berminat silahkan mengisi komentar di bawah..

salam damai IKMAPPOS


Akhir Expo Budaya 2009


Besok adalah hari terakhir dari kegiatan Expo Budaya yang diadakan oleh UKSW. banyak sekali pengalaman yang tak terlupakan dalam kegiatan ini, mulai dari pengetahuan adat istiadat daerah lain, tarian, dan masih banyak lagi.

ternyata Indonesia adalah Bangsa yang kaya akan keanekaragaman budaya, semuanya dapat kita lihat jelas dalam kegiatan Expo ini. keanekaragaman inilah yang harus terus kita jaga dan kita lestarikan agar terus dapat dinikmati dan dilestarikan terus-menerus oleh para generasi-generasi bangsa yang akan datang.

kami dari pengurus mengucapkan banyak-banyak terimakasih kepada semua anggota IKMAPPOS yang sudah berpartisipasi dalam kegiatan ini, terimakasih semua.

harapan kami dari pengurus, janganlah kebersamaan kita terhenti sampai disini. kita akan terus ada bersama-sama dalam IKMAPPOS. ingat organisasi ini buat torang samua. GBU ALL



Sungai Lariang terdiri dari sekitar 58 daerah sub–DAS dalam Taman Nasional Lore Lindu(TNLL). Sungai Lariang membentuk formasi U dan menyusuri TNLL sepanjang sekitar 245 km dan merupakan sungai terpanjang di Sulawesi. Wilayah DAS Lariang sebagian besar terletak di luar TNLL. Hulu paling utara dan timur dari wilayah DAS ini berada dalam wilayah TNLL dekat desa Sedoa, kemudian aliran utama mengalir ke selatan menuju barat daya di sekitar ujung yang lebih rendah dari padaTNLL di dekat desa Tuare. Sungai Lariang kemudian membelok ke arah barat dan mengikuti patahan Palu Koro sampai ke Lempelero, dimana Sungai Lariang bertemu dengan Sungai Haluo yang mengalir ke arah selatan. Pertemuan kedua sungai berubah alirannya ke arah barat ke kabupaten Mamuju Sulawesi Selatan dan bermuara ke Selat Makassar.

Sungai Lariang, walaupun tidak seekonomis dan sepenting sungai Gumbasa bagi masyarakat Palu, sungai ini mendukung kegiatan pertanian pada beberapa pemukiman penduduk seperti di daerah Torire, Lelio, Kolori, Pada, Kageroa, Tuare, Gimpu, dan beberapa desa lainnya juga desa-desa yang berada di wilayah Sulawesi Selatan. Saat ini, air di wilayah ini belum dimanfaatkan secara intensif seperti sungai-sungai yang berada di sebelah utara TNLL. Sungai Lariang penting dalam memberikan pasokan air irigasi dan kebutuhan air minum bagi banyak desa kecil dan terpencil di wilayah ini. Situasi ini tidak menutup kemungkinan akan berubah mengingat kepentingan ekonomi dari Sungai Lariang akan meningkat secara signifikan, khususnya setelah pengaspalan jalan dari Palu sampai Gimpu. Peningkatan jumlah penduduk, dibarengi dengan keinginan terus-menerus untuk modernisasi akan meningkatkan kebutuhan tenaga listrik di pedesaan. Permintaan ini dapat dipenuhi oleh investasi jangka panjang dan ekstensif dari jaringan listrik lokal. Instalasi dari pembangkit listrik bertenaga air yang berbasis di desa dapat menjadi salah satu solusi dengan tingkat polusi rendah, misalnya di Lembah Besoa dan Bada yang memiliki pembangkit listrik kecil tenaga air yang dapat memenuhi kebutuhan listrik Desa Doda dan Tuare. Penilaian harus dibuat terhadap kelayakan pemanfaatan Sungai Lariang untuk penyedia energi listik tegangan tinggi. Dengan anak-anak sungai berendapan rendah untuk pembangkit tenaga listrik akan mengurangi kebutuhan kabel listrik berjarak jauh yang dapat saja rusak akibat tanah longsor dan penurunan daya listrik karena kebocoran transmisi dan daya tahan listrik.

Potensi Sungai lariang dari segi pariwisata adalah arung jeram. Paket wisata arung jeram pernah diusahakan di Sungai Lariang oleh pengusaha adventure dari Sulawesi Selatan namun sekarang tidak jalan lagi. Kandungan emas di sungai ini juga menarik sebagian masyarakat untuk mendulang emas secara tradisional walaupun tidak banyak orang yang melakukannya.

sumber: http://lorelindu.wordpress.com

Torompio pada Expo Budaya

Hari ini adalah hari pertama berlangsungnya kegiatan expo budaya, dan IKMAPPOS ikut berpartisipasi didalamnya. Setelah tadi malam merampungkan pembuatan stand etnis, yang konsepnya lebih menonjolkan danau poso, hal ini dapat dilihat dari dibuatnya miniatur danau di dalam stand. Danau Poso sendiri merupakan salah satu objek wisata yang menjadi kebanggaan masyarakat kabupaten Poso.

Setelah secara resmi dibuka tadi pagi, maka sebentar malam IKMAPPOS mendapat kesempatan berpartisipasi dalam acara talent show pukul 18.00 (wib) , kali ini tarian yang ditampilkan adalah tarian Torompio, setelah tahun-tahun sebelumnya tarian yang di bawakan adalah tari "Dingkula".

Mungkin sebagian besar anggota IKMAPPOS bahkan penari yang akan tampil sebentar belum mengetahui apa makna yang terdapat dalam tarian tersebut. olehnya, kami mencoba memberikan sedikit penjelasan mengenai tari tersebut. Torompio sebenarnya berasal dari kata "toro" yang berarti berputar dan "pio" yang berarti
“angin”. Jadi, “torompio” berarti “angin berputar”. makna yang terkandung didalamnya adalah "gelora cinta kasih" yang dilambangkan oleh tarian yang dinamis dengan gerakan berputar-putar bagaikan insan yang sedang dilanda cinta kasih, sehingga tarian ini disebut torompio.

Tarian ini dahulu ditarikan secara spontan oleh para remaja dengan jumlah yang tidak terbatas dan dipergelarkan di tempat terbuka, seperti halaman rumah atau tempat tertentu yang agak luas. Para penontonnya muda-mudi yang berdiri dan membentuk lingkaran, karena tari ini didominasi oleh komposisi lingkaran dan berbaris.

Peralatan musik dalam pementasan tari torompio terdiri dari
(1) ganda (gendang); (2) nonggi (gong); (3) karatu (gendang duduk); dan gitar. Namun pada pagelaran tari sebentar, tidak memakai ganda ataupun karatu hal ini di karenakan alat musik tersebut belum dimiliki oleh IKMAPPOS, jadi untuk mengiringi tarian ini, hanya menggunakan gitar dan Jimbe karna mudah di dapat di Salatiga.


Tari Metingke dari Mori

Kata metingke berasal dari bahasa mori yakni “tingke” yang artinya dalam bahasa indonesia adalah timpang/pincang. pada awalnya tarian ini dimainkan oleh pria yang baru menang dari peperangan. gerakan yang di mainkan oleh para penari pria yaitu dengan memainkan kaki dan badan mereka yang kelihatan seperti orang timpang. sedangkan para penari wanita yang dengan begitu menarik memndampingi para penari pria mengekspresikan kegembiraan. syair lagu yang di nyanyikan oleh para penari mengungkapkan rasa gembira dan suka cita. sesekali mereka saling menebak lagu yang di nyanyikan dan hal ini disebut “powadi” atau “powukui”.

sumber: www.morokoa.com

Contact

Ikatan Keluarga Mahasiswa Pelajar Poso Salatiga
Sekretariat : Asrama Kartini
Salatiga - Jawa Tengah
Kode Pos 50711


Hp: 085226472125 (Yondie)

Mongkarian

Adapun maksud dari pelaksanaan upacara mongkarian adalah untuk menghormati seseorang yang telah meninggal dunia, maka diperlukan adanya suatu penjagaan secara bergantian yang dilakukan oleh seluruh pihak keluarga yang terlibat dalam upacara ini, sampai batas waktu yang telah ditentukan. untuk dikuburkan. Dengan tujuan agar pihak keluarga yang berduka cita diharapkan, hadir pada saat upacara penguburan dilaksanakan, demikian pula orang-orang tua adat, tokoh-tokoh dan peinuka masyarakat, serta seluruh keluarga baik yang tinggal di desa maupun yang berada di luar desa.

Penyelenggara Teknis Upacara
Untuk pelaksanaan penyelenggaraan upacara ini berjalan sesuai dengan tradisi yang berlaku di kalangan suku bangsa Pamona, terutama di kalangan keluarga Kabose, maka sebagai pelaksana teknis upacara ini dipimpin oleh seorang imam perempuan yang sering disebut Vurake, dan didampingi oleh orang tua-tua adat, sanak keluarga dan seluruh keluarga yang hadir dalam upacara ini. Masing-masing orang yang terlibat dalam upacara ini bertugas mengadakan penjagaan mayat secara bergantian jangan sampai ada binatang buas atau binatang peliharaan lainnya seperti anjing, babi dan lain-lain yang dapat merusak atau memakan mayat itu, terutama menghindari jangan sampai roh-roh, terutama roh-roh jahat atau syetan-syetan yang dapat mengganggu Tanoana atau jiwa orang mati yang mengakibatkan roh atau jiwa orang mati di dalam kubur tidak tenteram. Menurut J. Kruyt mengatakan bahwa dengan matinya manusia itu berlangsunglah suatu perubahan yang sangat besar dan manusia itu harus mengalaini perpisahan dari semua orang yang dicintainya dan dari segala sesuatu yang kepadanya hatinya melekat. (44 : 1977).

Waktu Pelaksanaan Upacara
Karena upacara ini meliputi dua hal yaitu upacara mongkariang dan upacara penghiburan yang sekaligus berangkaian membuat peti jenazah (montambe). Khusus upacara mongkariang yang penghiburan dilakukan pada malam hari, biasanya tiga atau tujuh malam bahkan ada sampai 40 hari 40 malam, hal ini tergantung dari hasil mufakat dari pihak keluarga dan dianggap bahwa seluruh keluarga telah hadir semuanya, barulah ditentukan untuk diadakan waktu penguburannya.
Setelah orang yang meninggal itu telah diketahui, maka dipersiapkanlah segala sesuatunya untuk menyelenggarakan upacara sebagai persiapan pelaksanaan penguburan yang akan datang, terutama pada malam hari dipersiapkan upacara penghiburan dengan nyanyian mondoboi dan monjojoava, nyanyian ini dipimpin oleh seorang imam perempuan yang isinya nasihat dan peringatan bagi pihak keluarga yang masib hidup. Sedang pada siang harinya dipersiapkanlah peti jenazah dan segala yang berkaitan dengan pemakaman.

Tempat Penyelenggaraan Upacara
Baik upacara mongkariang, penghiburan maupun montambe, dilakukan atau dilaksanakan penyelenggaraannya di rumah tempat tinggal dari orang yang mati itu, karena menurut kepercayaan mereka bahwa orang yang mati itu tetap terikat dalam satu persekutuan besar bersama-sama dengan orang yang masih hidup, masing-masing bergantung yang satu dengan yang lain.

Persiapan dan Perlengkapan Upacara
1. Persiapan Upacara
1. Setelah diketahui bahwa orang yang sakit itu atau yang menjelang sekarat telah dinyatakan meninggal, maka pihak keluarga menyampaikan kepada seluruh keluarga baik yang berada di desa maupun yang di luar desa, penyampaian ini dilakukan secara lisan. Kalau yang meninggal dunia itu adalah Kabosenya, maka seluruh rakyat datang berbondong-bondong untuk memberikan bantuan, baik bantuan berupa binatang ternak maupun makanan dan minuman. Untuk pihak keluarga Kabose mereka datang dengan membawa oleh-oleh yang pada umumnya bantuan itu berupa ternak potong, seperti kerbau, babi dan lain-lain, demikian pula makanan dan minuman. Adapun keluarga yang tinggal di desa di mana upacara ini akan dilaksanakan telah mempersiapkan segala sesuatunya termasuk keperluan yang dibutuhkan dalam upacara itu, demikian pula ruangan-ruangan atau tempat upacara, dan bahan kayu yang akan digunakan sebagai peti atau tempat mayat (orang mati).

2. Perlengkapan Upacara
Adapun perlengkapan upacara yang akan dipersiapkan dan digunakan dalam upacara ini antara lain berupa:
o Seperangkat alat-alat makanan dan minuman seperti: mangkok (tabopangkoni), piring adat (tabo), gelas (tabopangi-nung), dan lain-lain.
o Seperangkat benda-benda tajam atau alat-alat yang dipakai dalam perang seperti pedang (penai), tombak (tawala), dan lain-lain.
o Seperangkat sirih pinang seperti : Sirih, pinang, tembakau, kapur, gambir, dan tempat sirih pinang.
o Seperangkat pakaian adat (pakaian Kabose).
o Beberapa puluh ekor binatang ternak bahkan sampai berjumlah ratusan, hal ini tergantung kesanggupan keluarga dan bantuan yang dibberikan para keluarga dan anggota masyarakat seperti: kerbau (baula), ayam (manu), babi, dan lain-lain.
o Seperangkat alat-alat yang dipakai atau dikenakan oleh si mati seperti: bingka, boru, puya, tikar dan kain.
o Seperangkat bahan kayu yang akan digunakan untuk tempat menyimpan mayat atau sebagai peti jenazah.
o Dan beberapa perangkat lainnya yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Adapun fungsi masing-masing perlengkapan sebagaimana yang disebutkan di atas adalah sebagai berikut:


• Alat-alat makanan dan minuman dilambangkan sebagai alat perlengkapan rumah tangga yang dipakai setiap hari, dan alat ini adakalanya diikutsertakan kepada orang mati di dalam petinya untuk digunakan selama dalam perjalanannya menuju suatu keadaan baru yang paling mengerikan yang tidak dikenalnya, perjalanan ini dilakukan seorang diri tanpa diiringkan seorang teman kepercayaannya. Kecuali perlengkapan-perlengkapan yang disebutkan di atas.

• Perlengkapan lain yang harus menemani perjalanannya yaitu alat-alat yang berupa benda tajam yang berfungsi sebagai alat yang dapat mengusir roh-roh jahat atau syetan-syetan yang dapat mengganggu dalam perjalanannya.

• Demikian pula perlengkapan lainnya yang berupa binatang ternak potong yang harus dimbil darah daripada binatang itu yang kemudian diberi tanda di bagian dahi orang yang mati sebagai simbol bahwa orang mati tersebut telah dibapuskan segala dosa-dosanya yang disebut "moando sala" (menghanyutkan dosa). Pemotongan temak untuk maksud tersebut di atas, bukan saja bagi orang mati, tetapi juga bagi orang-orang yang melakukan pelanggaran adat seperti: berzina, membunuh dan perbuatan kejahatan lainnya.

• Pakaian adat yang dikenakan bagi golongan Kabose sebagai simbol atau lambang kebangsawanan.

• Dan perlengkapan terakhir yang harus disiapkan sebelum orang mati itu dimasukkan ke dalam peti yaitu peti jenazah yang bermodel atau berbentuk perahu yang terbuat dari kayu dan adakalanya kayu itu diberi ukir-ukiran bermakna estetis, dengan maksud bahwa model itu melambangkan sebagai alat kendaraan yang dipakai dalam berlayar seolah-olah orang mati itu dalam proses perjalanan menuju suatu alam yang tidak dikenaInya.
Jalannya Upacara Menurut Tahap-tahapnya
Apabila segala sesuatunya sudah rampung, maka upacara persiapan penguburan segera dimulai yang rangkaiannya meliputi Upacara Mongkariang, Upacara Penghiburan dan kegiatan membuat peti jenazah sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan oleh Vurake (Imam Perempuan) berdasarkan hasil mufakat para keluarga, tokoh-tokoh adat desa setempat.


• Upacara pertama yang dilakukan adalah menempakcan jenazah orang yang mati itu di dalam bilik atau di kamar di mana ruangan itu memungkinkan pihak keluarga dapat mengadakan penjagaan secara bergantian. Kemudian dipersiapkan segala sesuatunya yang merupakan pelengkap atau alat-alat upacara lainnya seperti: pakaian Kabose, alat-alat makan dan minuman, serta beberapa benda tajam lainnya. Perangkat ini adakalanya disimpan atau ditempatkan di sekitar jenazah atau di dalam bilik. Vurake selaku pemimpin upacara mulai mengatur penjagaan pada malam hari dari semua unsur yang hadir terutama keluarga yang terdekat dengan si mati.

• Jenazah yang ditempatkan di dalam bilik, lalu diletakkan di atas tikar yang beralaskan dengan bambu, dan ditutup dengan puya, serta di kiri dan kanan daripada jenazah, duduklah para keluarga mengitari jenazah. Bagian kepala biasanya duduk suami/isteri, dan pada bagian-bagian lainnya duduk anak-anaknya dan keluarga-keluarganya, dan malam-malam berikutnya diatur sedemikian rupa agar semua yang hadir mendapat giliran. Penjagaan jenazah ini biasanya bagi keluarga Kabose biasanya berlangsung selama tiga hari tiga malam, bahkan sampai tujuh hari tujuh malam, sampai tiba waktunya jenazah itu dikuburkan.

• Bersaman acara Mongkariang berlangsung setiap malam, maka pada saat itu pula berlangsung acara malam penghiburan yang dimulai pada malam hari dan berakhir pada pagi hari. Acara ini juga dipimpin oleh Vurake dan dikelilingi oleh orang tua dan muda, laki perempuan dan biasanya dalam bentuk lingkaran, dan dilakukan pada ruangan yang lebih luas yang dapat menampung orang yang akan mengikuti acara ini. Setelah siap semuanya Ialu Vurake memimpin acara ini dengan menyanyikan lagu-lagu Mopedoboi dan Monjojova. Kedua lagu ini sebenarnya berisi nasibat dan peringatan bagi pihak keluarga yang ditinggalkan dengan kata lain berisi pantun nasihat. Karena lagu ini berisi pantun, maka peserta yang hadir saling balas membalas dengan mengeluarkan pantun-pantunnya. Di samping Vurake menceriterakan otobiografi (riwayat hidup) si mati sewaktu masih hidup seperti: si mati pergi ke hutan mengambil kayu, pergi merantau ke negeri orang, membantu keluarga di rumah, dan hal-hal yang menyangkut kebaikan-kebaikan yang pernah dilakukan baik sewaktu menjadi pemimpin perang maupun pengabdiannya terhadap keluarga dan masyarakat.

• Untuk siang harinya pihak keluarga mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan untuk membuat peti jenazah, tandu jenazah (alat untuk mengangkat peti), perluasan rumah dan tempat penyimpanan peti jenazah. Pekerjaan ini dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidang itu, bagi keluarga Kabose adakalanya jenazah ini memakan waktu sampai berpuluh-puluh hari lamanya, hal ini tergantung kesepakatan keluarga dalam menentukan hari penguburannya. Demikian pula pada waktu siang hari dilakukan pemotongan ternak binatang, dan pada hari pertama dari binatang yang telah dipotong dilekatkan di bagian dahi atau muka jenazah sebagai tanda pelepasan dosa, dan pada hari-hari berikutnya pemotongan ternak seperti kerbau, babi dan ayam, untuk dimakan bersama-sama dan adakalanya sebagian dagingnya dibagi-bagikan kepada warga/anggota masyarakat. Sikap saling bantu membantu dan adanya pembagian pekerjaan masing-masing yang hadir dalam acara ini, membuktikan babwa suku bangsa Pamona sistem nilai kegotong-royongan telah terwujud dalam masyarakatnya.
Pantangan-pantangan yang harus dihindari
Bagi suku bangsa Pamona masih melekat adanya kepercayaan-kepercayaan yang dapat membawa malapetaka apabila dilanggar baik kepada keluarga yang ditinggalkan maupun warga/anggota masyarakat dalam desa itu, oleh karena itu dalam upacara persiapan penguburan ini, ada beberapa pantangan-pantangan yang harus dihindari antara lain sebagai berikut:


• Pada saat diadakannya upacara Mongkariang, maka pihak keluarga dan seluruh yang hadir dalam upacara itu, tidak diperkenankan tidur selama semalam suntuk dengan maksud mencegah jangan sampai ada binatang-binatang liar seperti anjing yang melangkahi mayat itu, kalau hal itu terjadi maka anjing itu harus ditangkap lalu dipotong/dibunuh, yang terpenting adalah mencegah jangan sampai jenazah itu dimasuki roh-roh jahat yang menyebabkan jiwa orang mati tidak tenteram selama dalam perjalanannya.

• Pada waktu berlangsungnya acara penghiburan, dan ketika nyanyian Mondoboi dan Monjojava dilagukan selama semalam suntuk, maka yang hadir dalam acara tersebut tidak diperkenankan tidur seolah-olah yang hadir itu merupakan penyerahan jiwa kepada orang yang mati dengan diantar suatu kerinduan, karena kedua lagu tersebut berisi pantun nasihat sehingga kata-kata yang diungkapkan dapat melahirkan perasaan yang terharu kepada orang mati. Di samping itu tidak diperkenankan mengadakan lagu-lagu atau nyanyian-nyanyian selain daripada kedua nyanyian tersebut di atas, sebab bisa menghilangkan nilai sakralnya, sedang nyanyian itu hanya dapat dilagukan pada upacara kematian, tidak diperkenankan dinyanyikan dalam upacara kegembiraan.
• Pada siang harinya seluruh kegiatan atau usaha-usaha yang merupakan sumber ekonomi masyarakat di desa itu tidak diperkenankan seorangpun untuk melaksanakannya. Waktu itu dipergunakan untuk memberikan bantuan dan partisipasinya dalam mempersiapkan segala sesuatunya dari seluruh rangkaian persiapan upacara seperti membuat peti jenazah, memperluas rumah, membuat tangga, mendirikan rumah penyimpanan mayat dan lain sebagainya. Bantuan yang diberikan itu sebagai tanda penghormatan dan kesetiaan kepada Kabosenya.

Adapun isi nyanyian Modoboi dan Monjojava dapat dilukiskan dengan kata-kata sebagai berikut:

• Vurake = "Saya sekarang sudah berangkat, dan saya ucapkan selamat tinggal anak-anakku dan seluruh keluargaku, dan kalau ada kebun yang saya tinggalkan jagalah baik-baik......................................."

• Jawaban Orang yang hadir = "Baik-baiklah kamu selama dalam perjalanan, dan mudah-mudahan kami yang masih hidup ini, senantiasa sehat walafiat serta dijauhkan dari segala bahaya dan penyakit................"

sumber klik disini

Motaro

Tarian Motaro adalah tarian rakyat yang diciptakan oleh masyarakat suku Pamona sendiri tanpa mendapat pengaruh dari kebudayaan luar. Motaro adalah tarian khas daerah poso (suku pamona) yang sejak dahulu kala sampai sekarang tetap di pelihara dan di kembangkan oleh masyarakat setempat. Hanya lagu/nyanyian yang dipakai sebagai pengiring pengantar tari ini sudah banyak dimodernisasikan, sesuaikan dengan perkembangan seni dalam era perputaran waktu.

Namun demikian, yang menjadi dasar atau inti tarian Motaro masih tetap dipertahankan. Pada masa dahulu tarian Motaro dilakukan untuk menyambut para pahlawan yang baru kembali dari medan pertempuran sebagai rasa syukur mereka kepada pencipta, atas kemenangan mereka.
Pada zaman dahulu sebelum penjajahan Belanda, para penari tarian Motaro ini memakai pakian yang terbuat dari kulit kayu (dalam bahasa pamona disebut ‘inodo’) yang di celup dalam larutan geta dari buah sejenis mangga, yang di sebut buah”polo”.

Adapun perlengkapan dalam membawakan tarian ini adalah:

1. Tinampa, Yaitu gelang tangan yang terbuat dari logam warna putih, bersusun sepanjang hasta (siku sampai kepergelangan tangan) jumlahnya kerang lebih 50 buah.

2. Langko, yaitu gelang kaki yang terbuat dari logam yang berwarna putih, bersusun 2 sampai 10 buah di kaki penari

3. Daun Soi, semacam daun (jenis tumbuh-tumbuhan yang tahan panas ataupun hujan) yang berwarna coklat tua, kadang berwarna merah, yang dipegang oleh tangan kiri para penari, melambangkan/menggambarkan keberanian, dan kehidupan abadi, dan luhur

4. Pedang, yang melambangkan, jiwa kepahlawanan yang tinggi dan bersemangat.

5. Gendang (karatu), yaitu 2 buah gendang sedang, dan sebuah gendang besar yang ditabuh oleh pria/wanita, penabuh yang ahli dalam irama dan gaya pukulan, sesuai dengan gerakan-gerakan dalam tarian ini. Irama pukulan gendang yang tepat seolah-olah mengeluarkan suara yang mengatakan Daku tende lipu se’i artinya “saya angkat kampung ini”. Menurut jiwa dan seninya, pukulan gendang tersebut bertujuan menjujung tinggi/mempertahankan dan mengembangkan daerah ini untuk lebih maju ke tingkat dan perkembangannya yang lebih tinggi.

6. Perisai (kanta), sebuah alat pelindung yang dipakai pada waktu berperang, melambangkan besarnya jiwa kepahlawanan untuk menghadapi segala bentuk musuh. Alat(kanta) tersebut akan dipegang oleh 2 orang pria yang pandai “Mangaru” (seperti cakalele) untuk mengiringi para penari putri membawakan tarian “Motaro”.

Tarian Motaro adalah salah satu tarian di daerah/wilayah Pamona yang menggambarkan:

1. besarnya jiwa kepahlawanan yang kokoh dan kuat untuk melawan dan menghancurkan segala jenis dan bentuk pengrusakan terhadap kemanusiaa.

2. melambangkan kehalusan budi pekerti para putri-putri suku Pamona, yang dapat menghargai dan menghormati sesama sudaranya, sebangsanya, terutama penciptanya, dan orang tuannya.

3. keperacayaan yang teguh akan kekuatan gaib, dewa yang disembah, agar supaya segala berkat serta kenikmatan hidup dan ketentraman bermasyarakat akan diberikan dan dirasakan oleh setiap insan yang mempercayainya.


sumber: lipuku-pamona

Makrab 2008




Rumah tempat tinggal penduduk disebut tambi , yang merupakan tempat tinggal untuk segala lapisan masyarakat. Yang membedakan rumah sebagai tempat tinggal kalangan bangsawan dengan rakyat biasa terletak pada bubungan rumah, yang mana pada bubungan rumah para bangsawan dipasang simbol kepala kerbau, sedangkan pada rumah rakyat biasa tidak dipasang simbol tersebut.

Rumah Tambi merupakan rumah di atas tiang yang terbuat dari kayu bonati . Bentuk rumah ini segi empat dan atapnya berbentuk piramida terbuat dari daun rumbia atau ijuk. Ukurannya tergantung dari kemampuan masing-masing pemiliknya. Ruangan utama ( lobona ) dari rumah ini tidak dibagi atas kamar-kamar, hanya di tengahnya
terdapat dapur ( rapu ) yang dilengkapi dengan tungku tempat memasak. Di sekeliling dinding rumah dibuat asari atau para-para yang memanjang sekeliling ruangan utama. Pintu rumah berbentuk empat persegi yang menghadap ke depan. Pada daun pintu diukir dengan motif kepala kerbau. Tangga rumah terbuat dari kayu keras yang bulat dan ditakik. Jumlah anak tangga antara 3-5 buah, tergantung dari tinggi rendahnya rumah tersebut.

Ruang utama berfungsi sebagai ruang tamu di kalangan keluarga, sedangkan para-para ( asari ) berfungsi serba guna. Selain dipergunakan sebagai temp
at tidur yang diberi pembatas, dapat pula berfungsi sebagai tempat untuk menyimpan harta benda, benda-benda pusaka, atau barang-barang berharga lainnya. Rumah ini tidak berkamar, para penghuninya biasa tidur di ruang tengah dengan menggunakan tempat tidur terbuat dari kulit kayu ( nunu ).



Pada bangunan-bangunan tradisional dihias dengan berbagai bentuk ragam hias yang menggunakan motif-motif tertentu, terutama motif fauna dan flora. Ragam hias dengan motif fauna terdiri dari pebaula (berbentuk kepala dan tanduk kerbau) dan bati (ukiran kepala kerbau, ayam, atau babi). Ragam hias ini tidak diukir seperti benda-benda ukiran biasa, tetapi hanya dipahat sampai halus dan rapi. Ukiran kerbau merupakan simbol kekayaan pemilik rumah, sedangkan ragam hias babi melambangkan kekayaan, kesuburan dan kesejahteraan pemilik rumah.

Warna yang digunakan dalam ragam hias ini disesuaikan dengan warna asli kayu yang diukir. Misalnya warna untuk ragam hias bati adalah kuning muda, sesuai dengan warna kayu yang digunakan. Dengan demikian ada bermacam-macam warna untuk menghias rumah, antara lain hitam, kuning muda, atau cokelat.

Sedangkan ragam hias dengan motif flora (pompeninie) merupakan sobekan-sobekan kain yang dibuat dari kulit kayu. Kain Yang berwarna-warni tersebut diikat dengan rotan, sehingga terangkai menjadi suatu bentuk ragam hias, yang maksudnya agar penghuni rumah terhindar dari segala gangguan roh-roh jahat. Umumnya bentuk bunga yang sering dibuat sebagai ragam hias rumah. Warna ragam hias ini bermacam-macam, biasanya berwarna merah, putih, kuning, hitam, biru, atau hijau.

Arah menghadap Tambi adalah utara-selatan, jadi tidak boleh menghadap atau membelakangi matahari. Tambi juga memiliki bangunan tambahan yang tidak dapat dipisahkan, yaitu Buho (di Kabupaten Donggala disebut Gampiri), bangunan berbentuk trapezium yang berada pada masyarakat Lore, yang terdiri dari dua lantai. Lantai bawah berfungsi sebagai tempat musyawarah atau menerima tamu, sedang lantai atas digunakan sebagai lumbung padi.

Letak Buho adalah didepan Tambi sebagai bangunan induk karena Buho adalah tempat menerima tamu. Bangunan lainnya yang sangat sederhana disebut Pointua, yaitu tempat menumbuk padi, dimana terdapat lesung yang disebut iso berbentuk segi emapt panjang bertiang 4 buah dan kadang-kadang terdapat pula lesung bundar yang disebut iso busa .

sumber klik disini

Karambangan yang terlupakan

Karambangan adalah salah satu hasil kesenian dari Propinsi Sulawesi Tengah tepatnya di kabupaten poso. Tepatnya karambangan adalah salah satu musik yang di mainkan dengan alat musik gitar dan di nyanyikan dengan lirik-lirik (kayori) yang berasal dari bahasa pamona, mori, bada, napu dll. Bukan itu saja karambangan pun dapat di mainkan dengan berbagai macam alat musik tradisional lainnya seperti geso-geso (alat musik berbentuk Biola dengan 1 senar) atau pun juk, dengan tidak melupakan alat musik gitar sebagai alat musik yang terpenting dalam karambangan.

Seperti halnya dero, karambangan sangat lekat dengan masyarakat poso terutama pamona, mori, napu, bada dll. Karena karambangan adalah salah satu kesenian yang tidak dapat di pisahkan dari suku-suku tersebut, walaupun faktanya suku mori telah berpisah dari Kabupaten Poso tapi dalam hal kebudayaan tidak ada yang dapat merubah, mengganti, atau pun menghilangkan kebudayaan tersebut.

Tapi sayangnya begitu terjadinya konflik di tahun 2000, karambagan seakan-akan ikut menghilang di antara tangisan dan kesedihan masyarakat poso.

Contohnya dapat kita lihat pada saat ini, ketika diadakan kegiatan-kegiatan kesenian seperti Festival Budaya atau kegiatan kesenian dalam rangka memperingati kemerdekaan Indonesia 17 agustus, karambangan kurang diikut sertakan dalam kegiatan tersebut bahkan tidak ada sama skali.

Pertanyaan yang timbul adalah ini murni kesalahan dari zaman yang semakin berkembang? ataukah pemerintah yang kurang memperhatikan perkembangan kebudayaan? Yang dapat menjawab hanyalah waktu dan kita sebagai masyarakat asli poso. Apa yang dapat kita lakukan agar karambangan tetap hidup dan berkembang.

Apakah karambangan itu hanya mampu untuk kita kenang, apakah kita hanya mampu bercerita kepada generasi-genarasi penerus bangsa kelak dengan rasa bangga bahwa karambangan adalah salah satu bagian dari kebudayaan kita yang telah mati.

sumber: isky_blogg

EXPO 2009

postingan ke-3 dari pengurus IKMAPPOS mengenai kegiatan yang akan di ikuti oleh anggota IKMAPPOS.
pada tanggal 16-19 juni di salatiga akan diadakan EXPO BUDAYA, pada kegiatan ini akan dilaksanakan beberapa kesenian dari berbagai daerah yang ada di INDONESIA. salah satunya ialah dari IKMAPPOS yang merupakan suatu organisasi dari Etnis Poso. dalam kegiatan ini di ikuti kurang lebih 15 perwakilan Etnis yang ada di INDONESIA.

adapun beberapa kesenian yang ditampilkan dalam acara ini:

1. Tari-tarian
2. Vocal group.
3. Band.
4. Drama, dan masih banyak lagi.

Expo Budaya ini merupakan sebuah kegiatan yang sangat positf bagi kami Mahasiswa perantau, untuk lebih mengenal kebudayaan dari daerah lain, dan tidak bisah di pungkiri bahwa masih banyak anak perantuan baik Mahasiswa ataupun yang sudah bekerja kurang memahami kebudayaan dari daerah mereka sendiri.

sekian postingan dari kami, dengan harapan postingan ini membawa manfaat yang besar dari para pembaca

Perdana

salatiga, 03 Juni 2009

Berawal dari percakapan sehabis melakukan ibadah penghiburan, dan atas usul Om Tony Tampake, maka tercapailah kesepakatan untuk membuat blog ini, sebagai sebuah media pertukaran informasi antara anggota IKMAPPOS (Ikatan Keluarga Mahasiswa Pelajar Poso di Salatiga) baik yg masih berada di Salatiga maupun yg telah berada di tempat lain. tapi tidak tertutup kemungkinan partisipasi dari sahabat-sahabat sekalian yang mau ikut dalam blogg ini.

salam pengurus

Foto-Foto DAN Video